Breaking News

DePA-RI: Harus Ada Solusi Soal “Male Order Bride” WNI di China



Beijing www.republikpers.id  Ketua  Umum  Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M mengingatkan perlunya solusi terkait "Male Order Bride” yang cenderung meningkat, melibatkan wanita Indonesia dengan pria China di Tiongkok.  

Ketua Umum DePA-RI dalam keterangan pers yang dikirimkan langsung dari Beijing China, Rabu (2/7/2025) menyebutkan, pihaknya siap jika harus ikut mensosialisasikan informasi legal terkait permasalahan Male Order Bride yang melibatkan WNI di Negeri Tirai Bambu itu.

Luthfi mengemukakan keterangan tersebut menyusul diskusi yang dilakukannya dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing China pada 1 Juli 2025. Diskusi dilakukan setelah ia memenuhi undangan untuk menyampaikan presentasi di kampus China University of Political Science and Law (CUPL) di Beijing.

Dalam kunjungan ke KBRI Beijing, Luthfi didampingi 13 advokat anggota DePA-RI, di antaranya Abdul Aziz Zein, Sugeng Aribowo, Ainuddin Abdul Hamid, Aulia Taswin, Muhammad Irana Yudiartika, Wahyu Ramdhani, Ajrina Fradella, dan Rita Ria Safitri.  

Sementara itu pihak KBRI Beijing yang menerima delegasi DePA-RI yaitu Nur Evi Rahmawati (Minister Counsellor), Irwansyah Mukhlis (Minister Counsellor, Political Affairs), Yudil Chatim (Education and Culture Attache), sedangkan Dubes RI untuk China berhalangan hadir.

Delegasi DePA-RI disambut dengan ramah serta mengadakan diskusi, antara lain tentang 14 ribu mahasiswa Indonesia yang belajar di China, intensitas perdagangan ekspor-impor China-Indonesia yang terus meningkat serta masalah Male Order Bride.

Male Order Bride adalah pernikahan antara orang Indonesia dengan orang China melalui perantaraan agen yang ada di Indonesia ataupun agen di China. Pernikahan WNI dengan warga negara China itu “difasilitasi” oleh agen di kedua negara melalui iklan dan promosi yang menggiurkan.

Dalam promosi, misalnya, diinformasikan bahwa calon suami warga negara China disebutkan sebagai seorang pengusaha, kaya, good looking, setia dan sebagainya, persis seperti biro jodoh.

Setelah terjadi kesepakatan, calon suami yang warga negara China itu kemudian membayar “mahar” kepada perempuan Indonesia melalui agen. Misalnya membayar mahar Rp 100 juta atau Rp 300 juta. Akan tetapi uang yang sampai ke calon isteri hanya sebagian saja karena dipotong oleh agen.

Dalam prakteknya di lapangan, setelah mereka menenuhi persyaratan administratif untuk menikah dan dilaksanakan pernikahan, tidak lama kemudian timbul permasalahan. Muncul kekecewaan, terutama karena ternyata sang suami, misalnya, hanya seorang penjual kelontongan kecil (meski juga bisa disebut “pengusaha”), atau suaminya pemalas dan pengangguran.

Kemudian juga ternyata sang suami di China itu tinggal di pelosok desa, sehingga tidak sesuai dengan harapan si perempuan Indonesia. Akibatnya timbul percekcokan, dan akhirnya si perempuan meminta cerai, sedangkan si suami keberatan karena sudah merasa membayar “mahar”.

Kasus-kasus semacam itu banyak terjadi di China, sementara KBRI punya keterbatasan untuk menyelesaikan secara tuntas masalah itu, sebab semua persyaratan formal dipersiapkan oleh agen.

Maka, dalam hal ini agen mempunyai tanggungjawab penuh dan harus memberikan informasi yang akurat tentang calon suami. Umpamanya tentang  keadaan ekonomi si calon suami maupun domisili persisnya serta gambaran kotanya dan sebagainya. Jika tidak, ada risiko pidana bagi agen yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, menurut Ketua Umum DePA-RI, Male Order Bride perlu penertiban dari awal, terutama di level agen agar mereka tidak lepas tangan, apalagi KBRI Beijing memiliki personil yang terbatas. Jika masalah Male Order Bride ini tidak ditangani lebih awal, dikhawatirkan menjadi masalah sosial-politik yang makin kompleks.

“Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan agen yang mengirim orang Indonesia untuk belajar atau bekerja di luar negeri. Hanya saja pekerja dari Indonesia tidak diperkenankan bekerja di Tiongkok, kecuali untuk pekerjaan yang menuntut spesialisasi dan keahlian atau expertise,” kata Ketua Umum DePA-RI.

Berbeda persoalannya dengan kasus-kasus TKI, TKW atau sejenisnya di luar negeri. DePA-RI, misalnya, melalui KBRI Tokyo membantu secara cuma-cuma penyelesaian kasus penipuan yang dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang bernama Eliza Sastra.

Eliza menipu warga Indonesia dengan menjanjikan berangkat bekerja atau belajar di Jepang dengan membayar sejumlah tertentu. Tapi faktanya, setelah melakukan pembayaran, ternyata semuanya hanya "pepesan kosong”.

“Inilah berbagai macam permasalahan warga negara Indonesia di luar negeri yang tidak mungkin hanya dibebankan kepada KBRI. Maka, perlu adanya pembenahan di lingkungan Imigrasi, Kementerian Tenaga Kerja, dan Pemda terkait pengiriman warga Indonesia ke luar negeri,” kata Ketua Umum DePA-RI.**/



Laporan : Ramsyah

© Copyright 2022 - REPUBLIKPERS.ID