Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 28 Oktober 2025
Di kedalaman jiwa manusia, sebelum kata pertama diucapkan dan sebelum dunia dikenali oleh mata, ada getaran halus yang membedakan benar dari salah, adil dari lalim, kasih dari kekerasan. Ia bukan hasil ajaran, bukan warisan budaya, melainkan nyala sunyi yang menyala sejak kelahiran. “Moralitas adalah benih yang ditanam dalam jiwa manusia sejak awal, bukan buah dari pendidikan semata” (Hauser, 2006). Seperti embun yang hadir tanpa dipanggil, moralitas mungkin telah menjadi bagian dari kodrat manusia, hadir sebagai intuisi yang membimbing langkah sebelum logika berbicara.
Penelitian dalam bidang psikologi perkembangan menunjukkan bahwa bayi telah menunjukkan preferensi terhadap perilaku prososial. “Bayi usia enam bulan dapat membedakan antara tindakan membantu dan menyakiti, dan lebih memilih individu yang membantu” (Hamlin, Wynn, & Bloom, 2007). Ini menunjukkan bahwa moralitas bukan semata hasil konstruksi sosial, melainkan memiliki fondasi biologis. Dalam studi neuroetika, ditemukan bahwa “aktivitas otak yang berkaitan dengan penilaian moral muncul bahkan tanpa pengalaman sosial yang kompleks” (Greene et al., 2001).
Dalam perspektif neurosains, moralitas dipandang sebagai hasil dari aktivitas kompleks di dalam otak, khususnya pada area prefrontal cortex dan sistem limbik. “Penilaian moral melibatkan interaksi antara emosi dan rasionalitas yang dimediasi oleh struktur otak seperti ventromedial prefrontal cortex dan amygdala” (Moll et al., 2005). Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada dilema moral, terjadi aktivasi simultan antara pusat empati dan pusat pengambilan keputusan. Ini mengindikasikan bahwa “moralitas bukan hanya konstruksi sosial, tetapi juga fungsi biologis yang tertanam dalam sistem saraf manusia” (Young & Dungan, 2012). Maka, dari sudut pandang neurosains, moralitas adalah hasil dari evolusi neurobiologis yang memungkinkan manusia hidup dalam komunitas dengan rasa keadilan dan empati.
Namun, moralitas juga dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya. “Meskipun ada kecenderungan bawaan, ekspresi moral sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan pengalaman hidup” (Narvaez, 2010). Artinya, moralitas adalah benih yang tumbuh dalam tanah budaya. Ia bisa berkembang menjadi pohon kasih atau duri kebencian, tergantung pada air yang menyiraminya. Dalam filsafat etika, “moralitas adalah dialog antara kodrat dan kebudayaan, antara naluri dan nalar” (Taylor, 1989).
Dalam konteks evolusi, moralitas dipandang sebagai mekanisme adaptif untuk menjaga kohesi sosial. “Perilaku moral meningkatkan kerja sama dan kelangsungan hidup kelompok” (Tomasello, 2016). Maka, moralitas bukan hanya soal benar dan salah, tetapi juga tentang keberlangsungan spesies. Ia adalah jembatan antara individu dan komunitas, antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulannya, moralitas adalah perpaduan antara bawaan dan bentukan. Ia lahir bersama manusia, namun tumbuh bersama pengalaman. “Moralitas bukan benda mati yang diwariskan, melainkan organisme hidup yang berkembang dalam interaksi manusia dengan dunia” (Kohlberg, 1984). Maka, memahami moralitas adalah memahami manusia itu sendiri, dalam kompleksitasnya, dalam paradoksnya.
Dan akhirnya, dalam keheningan batin yang tak terjamah oleh dogma, kita bertanya: jika moralitas adalah nyala yang telah ada sejak awal, mengapa dunia masih gelap oleh kekerasan dan ketidakadilan? Mungkin jawabannya bukan pada keberadaan moralitas, tetapi pada keberanian untuk mendengarkannya. Seperti bintang yang selalu ada di langit, namun hanya terlihat oleh mata yang menengadah, moralitas adalah cahaya yang menunggu untuk dihidupkan. Di sanalah tugas kita: bukan menciptakan moralitas, tetapi mengingatnya kembali.
Referensi:
• Greene, J. D., Sommerville, R. B., Nystrom, L. E., Darley, J. M., & Cohen, J. D. (2001). An fMRI investigation of emotional engagement in moral judgment. Science, 293(5537), 2105–2108.
• Hauser, M. D. (2006). Moral Minds: How Nature Designed Our Universal Sense of Right and Wrong. HarperCollins.
• Hamlin, K., Wynn, K., & Bloom, P. (2007). Social evaluation by preverbal infants. Nature, 450(7169), 557–559.
• Kohlberg, L. (1984). Essays on Moral Development, Vol. II: The Psychology of Moral Development. Harper & Row.
• Moll, J., Zahn, R., Oliveira-Souza, R. D., Krueger, F., & Grafman, J. (2005). The neural basis of human moral cognition. Nature Reviews Neuroscience, 6(10), 799–809.
• Narvaez, D. (2010). Moral complexity: The fatal attraction of truthiness and the importance of mature moral functioning. Perspectives on Psychological Science, 5(2), 163–181.
• Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity. Harvard University Press.
• Tomasello, M. (2016). A Natural History of Human Morality. Harvard University Press.
• Young, L., & Dungan, J. (2012). Where in the brain is morality? Psychologists and neuroscientists explore the foundations of human moral reasoning. The Psychologist, 25(9), 712–715.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header