Batanghari, Republik Pers.Id – Seorang oknum Da’i di wilayah Tebing Tinggi, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, diduga terlibat dalam aktivitas penambangan emas ilegal menggunakan alat dompeng. Tindakan tersebut menuai kritik keras dari masyarakat karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan melanggar hukum negara.
Menurut laporan warga, oknum Da’i tersebut kerap turun langsung ke lokasi tambang ilegal bersama beberapa pekerja. Aktivitas ini membuat masyarakat kecewa dan resah, karena selain mencoreng citra agama, juga merusak lingkungan sekitar.
“Kami benar-benar kecewa. Seorang Da’i seharusnya menjadi contoh dalam kebaikan dan menjaga ciptaan Allah, bukan ikut-ikutan menambang secara ilegal. Lingkungan di sini mulai rusak, air sungai pun keruh,” ujar Salah satu tokoh masyarakat Desa Olak Kemang, Selasa,(14/10/25)
Larangan dalam Al-Qur’an
Dalam ajaran Islam, perbuatan merusak alam sangat dilarang. Allah SWT berfirman dalam:
QS. Al-A’raf ayat 56:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap...”
Selain itu, Allah juga menegaskan dalam QS. Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa menjaga kelestarian bumi merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual seorang Muslim, apalagi bagi seorang Da’i yang menjadi teladan umat.
Dasar Hukum Penambangan Emas Ilegal di Indonesia
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 202
(tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara / UU Minerba)
👉 Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), izin penetapan wilayah, atau izin lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
📖 Makna Pasal: Artinya, siapa pun — termasuk individu, kelompok, atau bahkan tokoh masyarakat — dilarang melakukan penambangan tanpa izin resmi dari pemerintah.
Aktivitas dompeng termasuk ke dalam kategori penambangan tanpa izin (PETI) sehingga pelakunya bisa dijerat pasal ini.
Pasal 161 UU Nomor 3 Tahun 2020
*“Setiap orang yang menampung, membeli, menjual, mengangkut, mengolah, atau memanfaatkan hasil tambang yang bukan dari pemegang izin usaha pertambangan yang sah, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak *Rp100.000.000.000,00.”
Makna Pasal: Bukan hanya pelaku tambang liar yang bisa dihukum, tetapi juga orang yang ikut menjual, membeli, atau menampung hasil tambang ilegal.
Jadi bila seorang Da’i ikut mengelola, membiayai, atau mengambil keuntungan dari dompeng, bisa terancam pidana berdasarkan pasal ini.
3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 55 & 56
Pasal ini menjelaskan tentang siapa saja yang dapat dianggap sebagai pelaku atau turut serta dalam tindak pidana.
Pasal 55 KUHP:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Pasal 56 KUHP:
“Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
📖 Makna Pasal:
Jika seorang Da’i tidak menambang langsung, tapi memberi dukungan, menyuruh, atau menyediakan alat/sarana (misalnya mesin dompeng, lokasi, atau uang), maka bisa dijerat dengan pasal 55–56 KUHP sebagai pihak yang turut serta atau membantu kejahatan.
4. Dampak dan Sanksi Lingkungan
Selain pidana di atas, pelaku dompeng juga bisa dijerat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya:
Pasal 98 ayat (1):
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
Kesimpulan Hukum:
Seorang Da’i atau siapa pun yang terlibat dalam aktivitas dompeng:
Dapat dijerat Pasal 158 dan 161 UU Minerba (pidana 5 tahun, denda hingga 100 miliar).
Bisa diperkuat dengan Pasal 55 & 56 KUHP bila terbukti turut serta atau membantu.
Bisa dijerat UU Lingkungan Hidup Pasal 98 bila aktivitasnya menimbulkan kerusakan sungai atau pencemaran.
Tanggapan Pemerintah
Pihak Pemerintah Desa Olak kemang saat dikonfirmasi menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut.
“Kami akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian, Dinas Lingkungan Hidup, serta Pihak kecamatan Jika terbukti benar, kami minta aparat menindak sesuai prosedur hukum. Jangan sampai jabatan keagamaan disalahgunakan,” tegasnya.
Harapan Masyarakat
Warga berharap agar penegakan hukum berjalan tegas tanpa pandang bulu, serta menjadi pelajaran bagi tokoh agama lainnya untuk lebih berhati-hati dalam berperilaku.
“Kami ingin lingkungan tetap lestari, dan para Da’i menjadi contoh yang baik bagi umat. Jangan sampai karena ulah segelintir orang, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dakwah menurun,” tutup salah satu warga.
(Ms)
Social Header