Breaking News

PERJALANAN MANUSIA DARI INTI KE TEPI, DARI TEPI KE INTI

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 4 November 2025

Di awal kehidupan, tanpa disadarinya, manusia adalah peziarah yang terpukau oleh cahaya luar. Ia berlari mengejar bayangan, memburu pengakuan, membentuk citra, dan membangun benteng di pinggiran jiwanya. Dunia menjadi panggung, dan dirinya menjadi aktor yang sibuk memainkan peran. “Pada fase awal kehidupan, perhatian manusia cenderung terarah ke luar, pada pencapaian dan pengakuan sosial” (Erikson, 1950). Dimensi tepi diri; yang bersifat eksternal, sosial, dan performative, menjadi medan utama eksplorasi. Ia belajar tentang dunia, asyik masyuk dalam pesona dunia dimensi tepi luar, tetapi belum sempat mengenali dirinya yang terdalam.

Dalam paruh pertama umur, perhatian manusia terperipheralisasi; terdorong ke arah pinggiran dimensi diri. Perhatian dan energi hidupnyaa sebagian besar teralokasi pada tuntutan, norma, dan ekspektasi. “Identitas diri pada fase dewasa awal dibentuk melalui interaksi sosial dan peran-peran yang diinternalisasi” (Marcia, 1980). Pendidikan, karier, relasi, dan status menjadi poros pencarian. Namun, di balik gemerlap pencapaian, ada kekosongan yang perlahan menyapa. Ketika dunia tak lagi memuaskan, tak lagi memberi jawaban, manusia mulai mendengar suara yang selama ini ia abaikan: suara dari dalam.

Memasuki paruh kedua umur, pengalaman naik-turun, sedih-bahagia, pahit-manis membuat arah perhatian mulai bergeser. Dunia luar tak lagi menggoda seperti dulu. “Pada fase dewasa lanjut, manusia cenderung melakukan refleksi terhadap makna hidup dan identitas sejati” (Levinson, 1978). Ia mulai mempertanyakan makna hidupnya; mengambil makna dari luka, dari jatuh, dari kehilangan, bahkan dari pencapaian, dari segala tindakan dan pengorbanan yang dibayarnya untuk mencapai kejayaan. Segalanya mulai menjadi terasa hambar dan hampa. Secara intuitif ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih sejati dari semua yang sudah ia lalui dan capai di dimensi tepi. Ia mulai tertarik untuk kembali ke dimensi inti, pulang ke pusat dirinya, ke ruang batin yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk dunia. Dimensi inti diri; yang bersifat reflektif, spiritual, dan kontemplatif, menjadi medan baru pencarian. Ia tak lagi sibuk membuktikan, tetapi mulai belajar mengamati ke dalam, merasakan, memahami dan menerima.

Perjalanan dari tepi ke inti bukanlah regresi, melainkan evolusi kesadaran diri. “Transformasi psikologis dalam usia lanjut merupakan proses pendalaman makna dan integrasi identitas” (Wong, 2010). Manusia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang menjadi sesuatu di mata orang lain, tetapi tentang menjadi utuh di mata dirinya sendiri. Ia mulai berdamai dengan luka, merangkul kegagalan, dan memeluk ketidaksempurnaan sebagai bagian dari keutuhan.

Kesimpulannya, umur bukan sekadar angka, tetapi arah perjalanan batin. Paruh pertama adalah ekspansi ke luar, paruh kedua adalah konsolidasi ke dalam. “Kematangan psikologis ditandai oleh kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman luar dengan kesadaran batin” (Jung, 1953). Dalam proses ini, manusia menemukan bahwa inti dirinya bukanlah tempat yang harus dicapai, tetapi ruang yang harus diingat kembali, tempat yang abadi-tak bertepi yang dahulu pernah ia tinggali.

Dan di penghujung renungan ini, mari kita sadari bahwa cakrawala senja hidup adalah gerakan spiral dari luar ke dalam, dari tepi ke pusat, dari citra ke esensi. Mungkin, kebijaksanaan sejati bukanlah hasil dari banyaknya pengalaman, tetapi dari keberanian untuk pulang ke dalam diri. Di sana, dalam sunyi yang maknawi dan tak bertepi, kita bisa temukan bahwa kembali ke inti bukanlah titik akhir, melainkan titik awal untuk hidup dengan kesadaran yang utuh; memandang dan memperlakukan semesta, manusia dengan segala peristiwanya di dimensi tepi dengan kejernihan dan ketakziman pandangan dan sikap batin dimensi inti.

Referensi:
• Erikson, E. H. (1950). Childhood and Society. W. W. Norton & Company.
• Marcia, J. E. (1980). Identity in Adolescence. Handbook of Adolescent Psychology.
• Levinson, D. J. (1978). The Seasons of a Man’s Life. Knopf.
• Wong, P. T. P. (2010). Meaning Therapy: An Integrative and Positive Existential Psychotherapy. Journal of Contemporary Psychotherapy, 40(2), 85–93.
• Jung, C. G. (1953). Psychological Aspects of the Persona. In Collected Works of C.G. Jung, Vol. 7. Princeton University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - REPUBLIKPERS.ID